80 Tahun Mahkamah Agung: Refleksi Kritis di Tengah Krisis Kepercayaan Publik Oleh: Timbul Priyadi, S.H., M.H.Praktisi dan Pemerhati Peradilan

GARDA BLORA NEWS, JAKARTA – Tanggal 19 Agustus 2025 menandai delapan dekade perjalanan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Sebagai lembaga yudisial tertinggi yang berdiri dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, MA sejak awal dimaknai sebagai benteng terakhir keadilan. Namun, di usia yang ke-80 tahun, lembaga ini dihadapkan pada paradoks besar: capaian administrasi dan digitalisasi yang patut diapresiasi, tetapi juga krisis kepercayaan publik yang kian dalam akibat maraknya skandal korupsi di tubuh peradilan.

Sejarah dan Posisi Konstitusional

Mahkamah Agung resmi berdiri pada 19 Agustus 1945 dengan Ketua pertama Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja. Posisi konstitusionalnya ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan diperkuat oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai pengawal konstitusi, MA seharusnya bebas dari intervensi kekuasaan dan berdiri tegak demi keadilan.

Tema peringatan ke-80, “Pengadilan Bermartabat, Negara Berdaulat”, menegaskan relasi erat antara integritas pengadilan dengan kedaulatan hukum negara. Ketua MA menekankan: “Selama Pengadilan berdiri tegak dengan martabatnya, maka selama itu pula negara ini kokoh dalam kedaulatannya.”

Krisis Integritas: Mafia Peradilan dan Oligarki

Sayangnya, realitas di lapangan jauh dari ideal. Dalam setahun terakhir, publik diguncang oleh serangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menyeret hakim PN Surabaya hingga Pengadilan Tipikor Jakarta. Kasus suap untuk membebaskan terdakwa pembunuhan, ditemukannya Rp915 miliar dan 51 kilogram emas dari makelar kasus, hingga rekayasa putusan korupsi ekspor CPO, memperlihatkan wajah kelam mafia peradilan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sejak 2011 hingga 2024 terdapat sedikitnya 29 hakim menjadi tersangka korupsi. Praktik ini menunjukkan kuatnya cengkeraman oligarki dan lemahnya penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Capaian Administratif: Reformasi Digital dan Zona Integritas

Di sisi lain, tidak bisa diabaikan capaian MA. Selama 12 tahun berturut-turut lembaga ini memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Program Zona Integritas menghasilkan 260 satuan kerja berpredikat WBK dan 16 unit berpredikat WBBM.

Transformasi digital juga patut diapresiasi. Inovasi layanan seperti e-Court, e-Litigation, e-Berpadu, hingga peluncuran 13 aplikasi baru di tahun 2025 menjadi terobosan yang mempermudah akses masyarakat terhadap peradilan. Namun, semua itu belum cukup untuk menghapus defisit keadilan substantif yang dirasakan publik.

Dua Wajah Keadilan

Sejumlah kasus menegaskan timpangnya hukum di Indonesia. Nenek Asyani dipidana karena dituduh mencuri kayu, Bisrin dihukum karena mengambil kayu mangrove untuk rumahnya, aktivis lingkungan Karimunjawa Daniel Frist Maurits dikriminalisasi karena menolak proyek pariwisata, sementara pelanggaran besar korporasi justru sering lolos. Fenomena ini memperlihatkan hukum yang keras terhadap rakyat kecil namun lunak terhadap pemilik modal dan kekuasaan.

Transparansi Peradilan

Sistem digitalisasi di pengadilan tingkat pertama melalui SIPP membawa transparansi dalam jadwal sidang dan publikasi putusan. Namun, di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), masih sering terjadi keterlambatan publikasi, bahkan berbulan-bulan, yang menimbulkan spekulasi dan ketidakpercayaan publik.

Tantangan Internal

Beberapa persoalan mendasar masih membelit MA, di antaranya:

  • Kekurangan hakim dibandingkan jumlah perkara.
  • Sistem promosi dan mutasi yang belum sepenuhnya transparan.
  • Kesejahteraan hakim yang belum memadai.
  • Pengawasan internal yang masih lemah.

Rekomendasi Reformasi

Untuk menjawab tantangan, MA perlu melaksanakan langkah konkret:

  • Reformasi rekrutmen hakim berbasis integritas dan kapabilitas.
  • Penguatan pengawasan eksternal bersama KY dan KPK.
  • Evaluasi sistem promosi dan mutasi berbasis merit.
  • Peningkatan kesejahteraan sebagai investasi integritas.
  • Penanaman budaya kelembagaan yang menjunjung tinggi etika profesi.

Menjaga Marwah Peradilan

Sebagaimana dikatakan Bung Karno: “Mahkamah Agung adalah benteng terakhir keadilan. Jika semua lembaga telah gagal, rakyat berharap pada Mahkamah Agung.”

Kini, di usia 80 tahun, MA berada pada persimpangan: apakah tetap relevan sebagai penjaga keadilan dan moralitas hukum, atau semakin tenggelam dalam krisis kepercayaan publik. Harapan masih terbuka, jika reformasi struktural dijalankan secara sungguh-sungguh, bukan sekadar pencitraan administratif.

Seperti halnya negara memerlukan pertahanan untuk kedaulatan wilayah, negara hukum memerlukan pengadilan yang bermartabat untuk menjaga kedaulatan hukumnya. Di titik inilah, Mahkamah Agung dituntut membuktikan perannya sebagai benteng terakhir keadilan di Indonesia.

By admin

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *